Distribusi Manfaat REDD+ yang Berkeadilan : Sebuah Pencarian Konseptual Distribusi Manfaat REDD+ di Indonesia

Saturday, May 14, 2011

Sebagai salah satu bentuk mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan, REDD+ masih menimbulkan perdebatan dikalangan pihak yang terlibat maupun para pemerhatinya. Salah satu hal  yang masih diperdebatan  tersebut (secara konseptual tentunya) adalah  mengenai bagaimana dan dengan mekanisme serta proporsi seperti apa seharusnya distribusi manfaat REDD+ nantinya yang akan diterima oleh para pihak yang terlibat (pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat).
Diskursus mengenai bagaimana manfaat REDD+ didistribusikan kepada para pihak yang berhak dapat diketahui dari berbagai kajian literatur maupun diskusi-diskusi publik. Salah satu diskusi publik yang membahas mengenai berbagai alternatif distribusi manfaat REDD + yang dapat diterapkan di Indonesia adalah “Workshop Pendanaan dan Mekanisme Distribusi REDD+ di Indonesia”.

Workshop yang diselenggarakan oleh Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan (PUSPIJAK) bekerjasama  dengan ACIAR dan Australia National University berlangsung di ruang Sonokeling, Gedung Manggala Wanabakti tanggal 28 April 2011. Workshop dihadiri oleh berbagai kalangan baik yang mewakili pemerintahan (pusat dan daerah), lembaga swadaya masyarakat, lembaga-lembaga riset, aktivis lingkugan dan pemerhati masalah kehutanan lainnya.
Workshop terbagi dalam dua sesi, yaitu pemaparan makalah (seminar) dan sesi Diskusi Kelompok Terfokus (Focused Group Discussion). Dalam sesi seminar tampil Prof. Singgih Riphat (Kementerian Keuangan), Ismid Hadad (mewakili Dewan Nasional Perubahan Iklim), dan Indartik (Puspijak) dan Silvia (mewakili Australia National University). 
Diskusi maupun Focused Group Discussion berlangsung cukup hangat, dan hal  tersebut mencerminkan dua arus besar pandangan publik dalam melihat prospek implementasi REDD + di Indonesia. Kedua sudut pandang tersebut adalah sudut pandang yang bersifat optmistik yang diwakili oleh berbagai lembaga kajian/riset dan pemerintah pusat yang melihat bahwa masih ada peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan manfaat langsung (dalam bentuk transfer teknologi dan finansial dari negara-negara maju ke negara berkembang) dari mitigasi perubahan iklim melalui REDD+, sedangkan dari sudut pandang lain yang bersifat pesimistik dilontarkan oleh sebagaian kalangan masyarakat (LSM) dan pemerintah daerah yang merasa bahwa proses dan diskursus mengenai implementasi REDD+ dan distribusi manfaatnya masih saja berkutat di tataran konseptual belaka.
Kedua pandangan tersebut tercermin dari lontaran komentar dan pertanyaan para peserta workshop baik dalam sesi diskusi pada seminar maupun pada sesi Focused Group Discussion. Beberapa pandangan pesimistik tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa  REDD+ itu sendiri belum jelas, apakah akan jadi berlanjut atau tidak, bahkan ada juga  yang menyangsikan apakah COP di AFSEL akhir 2011 mendatang  akan juga  menyepakati REDD+ ini.
Mengawali acara workshop, Kepala Badan litbang Kehutanan (Dr. Tachrir Fathoni) mengingatkan bahwa disaat bicara REDD+, pemikiran kita harus diperluas tidak hanya melihat seberapa besar yang kita dapat melalui mekanisme pasar / non pasar dengan mengurangi emisi, menjaga dan meningkatkan stok karbon hutan tetapi juga dengan REDD+ ini menjadikan sebuah momentum untuk meningkatkan Sustainable Forest Management yang sedang kita upayakan.
Emy Hafild (seorang aktivis lingkungan terkemuka di Indonesia) dalam kesempatan pada sesi diskusi menyatakan bahwa masalah filosofis yang belum jelas (clear) mengenai REDD berangkat pada sudut pandang kita mengenai karbon. Dia menyatakan bahwa seharusnya pemerintah menentukan terlebih dulu kedudukan karbon, apakah sebagai komoditas perdagangan atau sebagai jasa lingkungan yang merupakan barang publik (public good). Menurut Emi Hafild pula, mengenai dana karbon ini harus diputuskan dulu secara mendasar, apakah dana karbon ini sebagai income untuk dibagi-bagi antar stake holder, atau akan dipakai pemerintah  untuk menjaga agar penyerapan karbon (baca: pengelolaan hutan) bisa lestari.
Pandangan yang optimistis tercermin dari pernyataan para pembicara yang melihat berbagai peluang dari mekanisme yang tersedia bagi distribusi manfaat REDD+. Menurut Basah Hernowo (Bappenas) mekanisme REDD+ untuk kondisi saat ini dapat menggunakantrust fund. selanjutnya dia mengingatkan agar dalam implementasinya nanti, penggunaan mekanime trust fund tidak mengulangi kesalahan masa lalu dalam pengelolaan dana DR.
Prof. Singgih Riphat memberikan alternatif untuk memasukan dana distribusi manfaat REDD+ ke dalam APBN. Dia menepis kekhawatiran sebagaian kalangan bahwa bila dimasukan ke dalam APBN akan menimbulkan konsekuensi kesulitan dalam penggunaannya oleh pihak penerima. Dia menyatakan bahwa akan dibuat suatu mekanisme yang sederhana agar kekhawatiran dalam kesulitan penggunaan dana yang menggunakan mekanisme APBN tidak terjadi.
Sedangkan  Silvia dari ANU menyampaikan usulan akademis (karena merupakan bagian dari penelitiannya sebagai mahasiswa doktoral di ANU) dengan model transfer fiskal dari pemerintah pusat ke Pemerintah daerah. Dia sudah membuat model pembagian dana ini dan  konsep ini akan diajaukannya sebagai bagian dari disertasinya.
Ismid Hadad, Ketua Pokja Pendanaan di DNPI merefer Kesepakatan Cancun, menyatakan bahwa untuk REDD pasar adalah mekanisme kunci. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa cara dari realisasi mekanisme pasar tadi adalah melalui mekanisme yang tersedia dalam protokol Kyoto yaitu melalui Emission Trading Scheme (ETS) untuk kegiatan perdagangan karbon antar negara maju, Join Implementation (JI) kalau kerjasama proyek antar negara maju, sedangkan untuk negara berkembang seperti Indonesia yang paling feasible saat ini menggunakan mekanisme pembangunan bersih (CDM). Sumber pendanaan lain yang berpeluang untuk digunakan menurut Ismid Hadad adalah dana publik (domestik, international dan hibah/pinjaman), dana swasta (nasional, internasional) dan dana dari pasar (hasil transaksi jual beli di pasar karbon).
Pada akhirnya muara dari workshop tersebut adalah kesimpulan yang menyatakan bahwa REDD+ perlu di dukung dengan financing, capacity building dan pengembangan/transfer teknologi. Beberapa point penting yang dapat dirumuskan dari workshop tersebut adalah sebagai berikut :
  • Keberhasilan REDD+ akan sangat dipengaruhi oleh ketepatan dalam menentukan besaran insentif REDD+ dan distribusinya kepada pihak-pihak terkait yang didukung dengan dipenuhi prasarat berupa prinsip-prinsip keadilan, transparansi , akuntabilitas. Sedangkan insentif yang didistribusikan kepada para pihak secara proporsional harus disesuaikan dengan besarnya peran dan tanggung jawab para pihak.
  • Sebelum penyiapan distribusi manfaat REDD+ maka perlu diidentifikasi stakeholder yang berhak menerima manfaat REDD+ serta perannya masing-masing dalam penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi agar semua pihak memperoleh haknya sesuai dengan kontribusi dan kinerjanya.
  • Selama pasar karbon untuk REDD+ belum terbentuk, terdapat beberapa model yang perlu dipertimbangkan dalam distribusi manfaat REDD+ ini, yaitu  model pendekatan langsung kepada penghasil jasa REDD+, pendekatan melalui pemerintah pusat yang terdiri dari compliance market, voluntary market dan trust fund.  Sebagai tindak lanjut pengembangan model tersebut akan  dilakukan kajian bersama antara Kementerian Keuangan dan Kementerian Kehutanan untuk merumuskan proporsi  insentif untuk masing-masing stakeholder. Selain itu perlu dilakukan konsultasi publik dengan stakeholder sebelum dituangkan menjadi regulasi.
  • Dalam mendistribusikan manfaat REDD+ perlu mempertimbangkan kewenangan dan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah; kelayakan administrasi dan politis terkait dengan rancangan distribusi pembayaran REDD melalui system transfer fiskal  antara pemerintah pusat-daerah dan interaksi dengan stakeholder.
  • Belajar dari pengalaman dengan A/R CDM, untuk mengukur pangsa pasar REDD+ dan distribusi manfaatnya, di samping melihat potensi dari sisi kemampuan hutan yang dimiliki Indonesia dalam hal menyerap atau menyimpan karbon dan mengurangi emisi juga sangat penting untuk melihat faktor-faktor lain baik internal maupun eksternal yang akan mempengaruhi seberapa jauh potensi tersebut dapat direalisasikan dengan baik.
Tampaknya, dari ringkasan hasil diskusi dan rumusan pertemuan tersebut, REDD+ dan implementasinya di Indonesia masih mengharuskan upaya keras semua pihak sambil di sisi lain diiringi upaya menumbuhkan optimisme agar upaya keras yang harus dilakukan dapat dijalani dengan sepenuh hati.
Informasi lebih lanjut dapat menghubungi :
Sulistyo A.Siran ( sulistyo.siran@yahoo.com)
Enik Eko Wati ( enikekowati@yahoo.com)
Bayu Subekti ( bayu_ceper@yahoo.com)
Share this article on :